Payung Hukum Untuk Si Pelindung
Pohon Angsana tumbang (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)
Petang itu belum berganti malam, Fasial berbaring di bawah pohon Mahoni setinggi 20 meter. Sesekali ia duduk bersandar dan meneguk secangkir kopi sambil menikmati tabuhan perkusi dari sejawatnya.
Setiap akhir pekan tiba, dia selalu beranjak dari rumahnya di bilangan Matraman ke Taman Suropati, untuk menikmati suasana rindang dan asri yang dibangun pohon-pohon pelindung berjenis Mahoni, Sawo Kecik, Ketapang dan Kelapa
“Yang asri kaya gini sulit di Matraman, karena itu saya ke Suropati. Main perkusi sama teman-teman terasa lebih asik sambil menikmati udara segar dan suasanya terasa lebih asik,” kata pria berusia 18 tahun itu
Keberadaan pohon pelindung selain sebagai peneduh, juga bayak berkontribusi menyehatkan lingkungan dengan penyerapan emisi karbon dan pesolek wajah kota. Namun fungsi ini seketika bisa saja berubah menjadi ancaman ketika perawatannya terbengkalai.
Beberapa bulan lalu, di beberapa tempat, pohon pelindung banyak yang tumbang hingga mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan yang cukup parah.
Salah satu warga Menteng Rulia Soepomo (60) mengatakan jika musim hujan tiba, angin kencang yang menghembuskan ranting pohon dan menggugurkan daun ke jalanan kerap menjadi pemandangan yang mencemaskan.
“Pihak Distamkam harus lebih sering lagi merawat pohon-pohon pelindung. Seperti waktu lalu di daerah Menteng dekat Gondangia, pohon-pohonnya miring, terkesan akan jatuh,” katanya.
Menurut Data Dinas Pertamanan dan Pemakaman (Distamkam) DKI Jakarta jumlah pohon pelindung pada 2011 mencapai 6.4 juta. Namun ketika dikonfirmasi secara terpisah, Kepala Seksi Jalur Hijau Jalan Distamkam DKI Jakarta Supriyanto mengatakan jumlah pohon yang baru diteliti hanya 100 ribu.
“Ya, itu kan yang baru diteliti. Dari 100 ribu itu dua persennya dinyatakan rapuh dan mungkin akan segera ditebang,” katanya. Supriyanto mengatakan pohon-pohon yang rapuh itu kebanyakan berjenis Angsana yang memang sudah uzur.
Ahli tata kota dari Univeritas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan untuk meningkatakan fungsi keberadaan pohon pelindung perlu adanya Peraturan Daerah (Perda). Dia juga mempertanyakan usulan Perda Pohon yang menurutnya sempat bergulir beberapa tahun lalu.
“Perda itu bisa menjadi koridor perihal perawatan pohon dan sanksi untuk warga yang merusak kesehatan pohon,”
Menurut Yayat, Perda itu bisa mencegah inkonsistensi pemerintah dalam memelihara pohon pelindung.
“Dulu pemerintah pernah berbicara tentang menebang satu pohon, diganti 10 pohon. Tapi itu dimana ? Yang ada pohon yang baru ditanam sudah dirusak warga,” kata Yayat.
Dia menuturkan kesehatan pohon pelindung di beberapa tempat di Jakarta terancam karena telah termodifikasi menjadi tempat berjualan dan parkir liar.
“Air bekas dagangan dibuang sembarangan ke pohon atau pohon yang baru ditanam dilindas mobil karena lahannya dijadikan tempat parkir liar. Pemerintah perlu menegaskan hal ini dengan sanksi,” katanya.
Menurut Yayat fungsi Perda juga untuk membantu Distamkam agar memperoleh anggaran dan sumber daya yang memadai. “Saya melihat tangga untuk memangkas pohon saja mereka sering kesulitan. Perawatan pohon harus memiliki anggaran yang cukup.” katanya.
Terkait usulan Perda, Supriyanto mengatakan sampai saat ini belum ada rencana untuk membuat usulan peraturan khusus terkait jenis dan kesehatan pohon pelindung. “Distamkam selama ini hanya mengandalkan peraturan daerah tentang lingkungan tingkat gubernur saja,” katanya.
Namun, Supriyanto menambahkan Distamkam memiliki tim khusus yang bertugas menangani persoalan pohon-pohon pelindung di Jakarta. Dia mengatakan tugas dari tim ini untuk mengevaluasi usulan pemerintah dan masyarakat, melakukan survei, memberikan rekomendasi penanaman tentang pohon pelindung.
“Tim kami bertugas setiap hari, ada yang tingkat propinisi mengatur daerah protokol, sedangkan yang kecamatan mengatur daerah pinggiran,” ujarnya.
Pria berusia 44 tahun itu mengatakan Distamkam juga melibatkan unsur-unsur masyarakat seperti sekolah dan kecamatan untuk mensosialiasaikan cara penanaman pohon pelindung yang benar terkait jenis, cara dan media penanamannya.
Fungsi Penyeragaman Pohon
Angsana memang menjulang. Dengan tinggi yang bisa mencapai 30 meter, pohon bernama latin “Pterocarpus Indicus Willd” ini menjadi peneduh favorit warga Jakarta selama puluhan tahun.
Namun akar yang menjalar hingga merusak bangunan dan usia uzur menjadi ihwal bagi para petugas bergergaji mesin untuk menebang pohon bermahkota bunga berwarna kuning itu.
Jakarta harus merelakan dominasi Angsana yang akan diganti dengan Mahoni, Glodokan, Tanjung dan Trembesi yang digadang Distamkam dalam kebijakan penyeragaman pohon pelindung.
“Angsana sudah banyak yang tua dan akarnya merusak konstruksi bangunan. Maka itu kami ganti dengan keempat pohon itu karena perakarannya bagus, tidak merusak konstruksi bangunan, tajuk yang tidak mudah patah dan juga unsur estetika,” ujar Supriyanto
Dari keempat jenis pohon itu, menurut Makalah Seminar Hasil Penelitian di Universitas Trisakti pada 1990 tentang kemampuan tanaman dalam menyerap timbal, hanya Mahoni yang memilki kemampuan tinggi dalam menurunkan kandungan timbal di udara.
Sedangkan Glodokan dan Tanjung memiliki daya serap yang rendah dan tidak peka terhadap pencemaran udara
Ketika dikonfirmasi tentang pemilihan jenis pohon, Supriyanto mengatakan semua itu berdasarkan hasil riset dengan tim-tim akademisi seperti Departemen Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan jenis pohonnya bisa saja berubah.
“Seperti penyeragaman, mungkin tidak akan permanen menggunakan empat jenis pohon itu tergantung hasil evaluasi rutin Distamkam dengan tim IPB,” ujarnya
Dia mengatakan penyeragaman pohon pelindung sedang diprioritaskan di beberapa wilayah seperti Banjir Kanal Timur, Jalan Tol Soediatmo dan beberapa Ruang Terbuka Hijau yang baru dibebaskan seperti di Penjaringan dan Cilangkap.
Di sisi lain, Yayat mengatakan penebangan pohon Angsana dan penyeragaman pohon pelindung bisa bermanfaat asal Distamkam telah sinergis dengan pihak-pihak terkait. “Perlu keterlibatan pihak lain seperti dinas PU agar pohon yang ditanam tidak merusak ruang-ruang lainnya seperti gedung dan pedestrian,” ujarnya.
Salah satu warga Jakarta, Yudha (21) mengatakan dia selalu merindukan suasana asri dan rindang dari pohon pelindung. Dia berharap penyeragaman pohon pelindung tidak serta merta mengurangi kuantitas pohon pelindung
“Silahkan kalo mau diseragamkan asal tidak mengurangi jumlah pohon dan penggantinya lebih asri dan rindang,” katanya
Butuh Pemimpin “Gila” Lingkungan
Beberapa pekan lagi, warga Jakarta akan memilih pemimpinnya untuk lima tahun mendatang. Menurut Yayat ini salah satu kesempatan warga untuk memilih Gubernur yang benar-benar peduli terhadap lingkungan.
“Warga sebaiknya pilih Gubernur yang “gila” lingkungan untuk Jakarta yang lebih hijau,” katanya.
Menurut Yayat permasalahan lingkungan Jakarta sebenarnya berhulu pada keberanian dan kecerdasan pemimpinnya. Dia mengatakan pemimpin harus teguh menegakan peraturan mengenai keberadaan lahan hijau walaupun harus melawan otoritas-otoritas lainnya.
“Jadi pemimpin Jakarta tuh harus peduli lingkungan, berani, dan satu lagi pinter mengajak pengembang untuk membuat lahan hijau di Jakarta,” katanya.
Yayat mengatakan pemimpin “gila” lingkungan adalah mereka yang bisa menerobos birokrasi dan melahirkan gagasan-gagasan baru, seperti regulasi pohon dalam peraturan daerah untuk hijaunya Jakarta.
***